2.1 Terbentukknya Sunnah pada masa Rasulullah SAW.
Periode Rasulullah SAW merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan hadis. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu, (’ashr al-wahy) dan sekaligus sebagai masa pembentukan hadis (’ashr al-takwîn).
Terbentuknya sunnah pada masa Rasulullah berawal dari pengajaran beliau yang menarik perhatian para sahabat. Diantara cara-cara pengajaran yang dipraktekkan oleh beliau adalah sebagai berikut :
a. Husn al-tarbiyah wa al-ta’lîm.
Nabi memberikan pengajaran dan pendidikan dengan cara yang baik sehingga sahabat merasa puas dengan keterangan dan perilaku Nabi. Beliau adalah guru yang tulus, perhatian, penuh kasih sayang dan sopan santun dalam menyampaikan ajarannya. Ketika berceramah, Nabi menyampaikanya secara jelas dengan suara yang lantang dan tegas.
b. Tadarruj.
Nabi memberikan pengajaran dengan cara bertahap karena mempertimbangkan factor cultural, social dan psikologis umat. Tahapan ini merupakan ekspresi kearifan dan kecerdasan beliau, sehingga apa yang disampaikan dapat dihayati oleh umat.
c. Tunwî’ wa al-tagyîr.
Rasulullah SAW dalam memberikan pegajaran, berusaha memilah dan membagi masalah yang diajarkan agar para sahabat mudah memahami dan tidak merasa jenuh, demikian juga beliau mengubah pola-pola penyampaiannya dan pengajaran secara variatif.
d. Tathbîq al-‘amal.
Rasul tidak hanya memberikan penjelasan kepada sahabatnya tetapi juga dalam berbagai kesempatan beliau melakukan praktek langsung terhadap apa yang dismpaikannya. Misalnya, Rasul mengajarkan sejumlah ayat al-Quran kepada sahabat, lalu menyuruh sahabat membacanya kembali, dan menerapkan dalam kehidupan mereka.
e. Mura’ah al mukhtalifah.
Dalam melakukan pengajaran, Rasulullah selalu mempertimbangkan kondisi objektif, psikologis dan kecerdasan orang yang bertanya kepadanya.
f. Taisir wa ‘adam at-tasydîd.
Dalam mengajakan sesuatu, Nabi selalu menekanka kemudahan dan kemaslahatan. Itulah sebabnya, umat tidak merasa terbebani dengan ajaran yang diajarkan beliau. Dalam salah satu pesannya, secara khusus beliau memberi penegasan, “Permudahlah dan jangan mempersukar”.
Ada sesuatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa-masa sesudahnya. Keistimewaan itu adalah proses penerimaan hadis dari Nabi secara langsung. Antara sahabat dengan Nabi tidak ada hijab yang dapat menghambat dan mempersulit pertemuan mereka.
2.2 Tujuan Pemerataan Sunnah dan Sosialisasinya
Untuk tujuan pemerataan sunnah dan sosialisasinya, maka beliau yang menyampaikan hadisnya melalui forum-forum khusus, diantaranya :
a. Ta’îim al-nisâ’.
Sesuai dengan tabiat Nabi yang tidak diskriminatif, beliau selalu meluangkan waktunya untuk memberikan pengajaran kepada siapa saja, termasuk kepada kaum wanita. Bahkan, para wanita secara istimewa diberikan pengajaran pada waktu tertentu dan di forum khusus. Nabi juga mengharuskan agar setiap orang membawa keluarga wanitanya, baik yang sedang haid maupun yang suci untuk menghadiri khutbah salat ‘id (Hari Raya) di tanah lapang.
b. Ta’îim al-awlâd.
Kepada anak-anak yang disadarinya merupakan generasi pelanjut, beliau juga tidak segan-segan meluangkan waktunya untuk mereka. Nabi SAW tidak menjauhkan anak-anak ketika beliau ingin salat dengan tujuan agar mereka mendapat pengajaran sejak dini beribadah kepada Allah.
c. Fardiyah wa jamâ’ah wa ’âmmah.
Dalam menyampaikan hadisnya, Rasulullah kadang-kadang hanya menyampaikan satu persoalan pada perseorangan, kadang-kadang juga terhadap satu kelompok tertentu, dan terkadang disampaikan secara umum. Ketika seseorang memerlukan jawaban hokum dari Nabi, sahabat dapat langsung bertanya kepada beliau. Demikian juga jika terjadi masalah dalam suatu kelompok, maka mereka dapat bersama-sama menemui Nabi SAW.
d. Markaz al- ta’îim.
Nabi mengalokasikan pengajaran pada tempat tertentu, misalnya masjid dan rumah sahabat, begitu pula Dar al-Arqam. Di samping untuk memudahkan sahabat mendengarkan ceramah Nabi SAW, juga untuk tujuan konsoludasi dan koordinasi internal masyarakat Muslim waktu itu. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa Nabi tidak pernah melakukan pertemuan ditempat-tempat lain. Beberapa tempat lainnya yang biasa digunakan adalah rumah Nabi sendiri, pasar, tanah lapang, dan sebagainya.
Para penulis sejarah mencatat bahwa para sahabat sangat antusias mengikuti majelis Nabi. Mereka saling memberitahu sesamanya tentang hadis yang mereka ketahui, baik didengar atau diterima langsung dari Nabi maupun sahabat. Disebutkan bahwa ’Umar bin al-Khathtâb misalnya, adalah salah seorang sahabat yang sangat tekun mengikuti majelis Nabi. Beliau dan tetangganya yang bernama Ibn Zâd secara bergantian mengunjungi majelis Nabi, dengan perjanjian bahwa siapa yang hadir harus member informasi kepada yang tidak hadir, baik itu berupa wahyu maupun yang lainnya.
Selain melalui majelis, nabi juga memberikan penjelasan kepada sahabat sekitar peristiwa actual yang dihadapi sahabat, lalu beliau memberikan pertimbangan dan putusan hukum atas masalah tersebut.
Selain dengan cara tersebut, kadang-kadang sahabat juga memperoleh hadis dengan cara bertanya langsung kepada Nabi menyangkut masalah diri, keluarga, atau sahabat. Beliau kemudian memberi penjelasan dan sahabat menerimanya. Dalam hubungan ini, sekali lagi, perlu dicatat bahwa tidaklah sulit untuk bertemu dengan beliau kapan saja. Sehingga seorang Badui pun yang berasal dari tempat terpencil dapat segera menemui Nabi jika memang membutuhkan.
Sahabat juga memperoleh hadis dari kesaksian mereka terhadap perilaku dan hal-ihwal Nabi. Bagaimana beliau salat, puasa, haji, musafir dan lain-lain, disaksikan langsung leh para sahabat. Kesaksian ini kemudian mereka teruskan kepada sahabat lain atau kepada tabi’in.
Tersebarluasnya hadis pada masa Nabi, pada satu sisi tentu saja disebabkan adanya kebutuhan yang mendesak untuk segera mendapat jawaban atas masalah yang dihadapi sahabat dalam kesehariannya. Kadang-kadang mereka bertanya kepada sesamanya, dan jika informasinya memang tidak ada, maka mereka segera bertanya langsung kepada Nabi. Antusiasme sahabat untuk proaktif bertanya kepada Nabi, berkelindan dengan sikap inklusif yang ditunjukkan oleh beliau. Hal itu merupakan factor penting lainnya yang menyebabkan hadis cepat tersebar pada masa Nabi.
Terhadap wacana-wacana kewanitaan tidak kalah menariknya untuk dicatat jasa dan peran para istri beliau (ummahât al-mu’minîn). Selain itu, para delegasi yang diutus ke berbagai daerah juga berperan penting dalam mensosialisasikan hadis pada masa itu.
Selain delegasi yang dikirim oleh Nabi, penyebarluasan hadis juga diperankan oleh delegasi yang dating menemui beliau. Beberapa daerah yang telah menyatakan diri bergabung di bawah panji-panji Islam, kemudian mengutus delegasinya ke Madinah untuk mempelajari Islam secara mendalam. Sekembalinya ke daerah masing-masing, utusan-utusan inilah yang tampil di garda depan untuk menyebarluaskan hadis.
Dalam skala yang lebih luas, hadis Nabi menjadi cepat tersebar melalui deklarasi dan pertemuan yang melibatkan banyak orang. Ketika terjadi Deklarasi Hudaibiyah misalnya, secara sengaja Nabi memanggil para kabillah-kabillah untuk hadir dalam deklarasi itu di Madinah. Sejarah mencatat bahwa deklarasi itu dihadiri oleh puluhan ribu orang dari kalangan Muslim dan musyrik. Dalam momen penting itu, Nabi berpidato sehingga otomatispidatonya didengar oleh puluhan ribu orang sekaligus. Begitu pula ketika terjadi konferensi pada tahun kesepuluh Hijriyah yang terkenal dengan nama peristiwa Haji Wada’. Nabi mengemukakan beberapa wasiat di hadapan sekitar tujuh puluh ribu umat Islam.
Sebagai sesuatu yang diajarkan, maka pengetahuan sahabat tentang hadis sudah pasti bervariasi sebagian ada yang memiliki perbendaharaan hadis yang banyak, sebagian lainnya hanya sedikit. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, yakni : Pertama, kebersamaan mereka dengan Nabi yang berbeda. Kedua, perbedaan masuk Islam. Ketiga, perbedaan karena domisili yang jauh dari tempat tinggal dan masjid Nabi. Keempat, perbedaan kesanggupan bertanya kepada sahabat lainnya.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagi sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasulullah dengan beberapa penyebab yang disebutkan sebelumnya. Mereka itu antara lain :
a. Al-Sâbiqûn al-awwalûn (para sahabat yang pertama kali masuk Islam) seperti Abu bakar, ’Umar, ’Utsman bin Affân, ’Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ûd. Mereka banyakmenerima hadis dari Rasulullah karena lebih awal masuk Islam dibanding sahabat-sahabat lainnya.
b. Ummahât al-awwalûn (istri-istri Rasul) seperti ’Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasulullah daripada sahabat-sahabat lainnya. Hadis-hadis yang diterimanya banyak yang berkaitan dengan soal-soal keluarga dan pergaulan suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasul juga menuliskan hadis yang diterimanya, seperti ’Abdullah bin ’Amr bin al-’Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul, tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh seperti Abû Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh megikuti majelis Rasul, banyak bertanya kepada sahabat lain dan dari sudut usia tergolong hidup lebih lama terhitung sejak wafatnya Rasulullah. Mereka misalnya seperti ’Abdullah bin ’Umar, Anas bin Mâlik dan ’Abdullah bin Abbâs.
Halpenting lainnya yang harus dicatat pada masa ini adalah adanya larangan Nabi untuk menulis hadis dan hanya menyuruh menghapalnya. Dalam hal ini Nabi bersabda, yang artinya :
Janganlah kamu tulis (apa yang berasal) dariku dan barangsiapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapusnya.
Akan tetapi, pada sisi lain ditemukan pula perintah Nabi untuk menulis hadis. Itulah yang mendorong sehingga pada masa Nabi, sebagian sahabat melakukan penulisan hadis ke dalam catatan-catatannya yang dikenal dengan nama shahîfah. Diantara sahabat yang memiliki catatan adalah :
a. ’Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Catatannya disebut dengan al Shahîfah al-Shadiqah. Di dalamnya terhimpun sekitar seribu hadis, yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Nabi ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.
b. Jâbir bin ‘Abdillah bin ‘Amr al-Anshâri. Catatannya disebut dengan Shahîfah Jâbir. Haidis-hadis yang dicatatannya menyangku manasik haji.
c. Abû Hurairah al-Dausi. Catatannya dikenal dengan Shahîfah al- Sahîihah.
d. ’Abdullah bin Abi Aufâ’. Catatannya dikenal dengan Shahîfah ’Abdullah bin Abi Aufâ’
e. Abu Bakar al-Shiddîq. Menurut sejarah, ia pada mulanya memiliki shahîfah yang memuat sebanyak 500 hadis. Tetapi karena sifat wara’ dan kekhawatirannya orang-orang akan melupakan pelestarian al-Qur’an, shahîfah hadisnya kemudian dimusnahkan.
f. Abu Syâh (’Umar bin Sa’d al-Anbâri). Tokoh inilah yang menjadi asbâb wurûd hadis nabi yang memerintahkan hadisnya ditulis.
g. Hammâm, murid Abû Hurairah. Catatannya dikenal dengan nama al- Shahîfah al- Shahîfah.
Selain nama-nama di atas, masih banyak sahabat lainnya yang juga mengaku memiliki catatan hadis, seperti Râfi’ bin Khadîj, Amir bin Hazm, ’Ali bin Abi Thâlib dan Ibn Mas’ûd.
Menghadapi hadis yang tampak di atas, para ulama telah mengadakan pentahqiqan. Yakni mengkompromikan kedua macam hadis yang tampak bertentangan itu, sehingga tidak menimbulkan kemusykilan lagi dalam memahaminya.
Berikut ini dkemukakan pendapat ulama dalam usaha menyelesaikan atau mengkompromikan kedua macam hadis di atas.
a. Bahwa larangan menulis hadis itu telah dimansûkh oleh hadis yang memeritahkan menulis hadis.
b. Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa sahabat secara khusus diizinkan.
c. Bahwa larangan menulis hadis, ditunjukkan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampuradukkan dengan al-Qur’an, sedang izin menulis diberikan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukkan hadis dengan al-Qur’an.
d. Bahwa larangan itu, jika ditulis dalam bentuk seperti mushaf al-Qur’an, sedang bila sekadar berupa catatan-catatan untuk dipakai sendiri, tidak dilarang.
e. Bahwa larangan itu, berlaku pada saat wahyu yang turun belum dihapal dan dicatat oleh para sahabat, sedang setelah wahyu yang turun telah dihapal dan dicatat, menulis hadis diizinkan.
Dengan demikian, sejak masa Nabi, perhatian para sahabat untuk melakukan upaya pelestarian hadis telah dimulai. Hal itu juga sekaligus menunjukkan betapa hadis telah menjadi bagian integral dari kehidupan umat Islam sejak masa-masa awal sejarah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar